Label

3 Jan 2013

Esai Pancasila


PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN BANGSA


 
Istilah paradigma pada mulanya digunakan dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para ilmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.

Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, hukum, serta ilmu dan teknologi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia sehingga pancasila menjadi landasan dan tolak ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan. Nilai-nilai dasar Pancasila dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, seperti: susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga, sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial, dan kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan.
Sehingga pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas. Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Sehingga,  pembangunan di Indonesia dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam kajian ini, dibahas mengenai “Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa”, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, hukum, serta ilmu dan teknologi.
1.   Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Demokratisasi merupakan upaya penting dalam mewujudkan civil society. Tanpa proses demokratisasi tidak akan tercipta civil society. Masyarakat menjadi demokratik kalau mewujudkan nilai-nilai inti demokratik (care democratic values). Sedikitnya ada empat nilai inti demokratik. Pertama, kedaulatan rakyat yang berarti masyarakat diatur oleh keputusan atau hukum yang ditentukan oleh masyarakat sendiri baik langsung atau melalui perwakilan. Nilai demokratik kedua adalah partisipasi. Partisipasi politik berarti masyarakat sendiri yang menentukan dan mengendalikan keputusan politik yang memengaruhi dirinya. Partisipasi politik perlu bagi perwujudan kebebasan warganegara. Nilai ketiga adalah akuntabilitas. Dalam masyarakat demokratis harus ada mekanisme bagaimana pemerintah atau pemegang kekuasaan dapat diawasi dan dikendalikan oleh rakyat. Nilai keempat adalah komitmen pada persamaan (equality). Warga masyarakat memiliki hak yang sama dalam memberikan kontribusi bagi pengambilan keputusan.
2.    Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan (sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Strategi pembangunan partisipatif (participatory development startegy) yang merupakan syarat bagi terselenggaranya proses demokrasi ekonomi masih terhambat oleh kultur politik dan sikap birokratis yang paternalistik. Berbagai pembinaan atau reformasi kultural diperlukan untuk memasyarakatkan nilai kedaulatan rakyat.
Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, sebagaimana yang ditegaskan dan tercantum dalam UUD 1945 (BAB XIV, pasal 33), harus dilaksanakan dan dipegang teguh secara konsisten, yaitu: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
3.   Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
4.   Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
5.   Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
          Pembangunan hukum bukan hanya memerhatikan nilai-nilai filosofis, asas yang terkandung dalam konsep negara hukum, tetapi juga memepertimbangkan realitas penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat (Moh. Busyro Moqoddas, Salman Luthan & Muh. Miftahudin, 1992). Pancasila sebagai ideologi nasional memberikan ketentuan mendasar, yakni: 1) sistem hukum dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumbernya, 2) sistem hukum menunjukkan maknanya, sejauh mewujudkan keadilan, 3) sistem hukum mempunyai fungsi untuk menjaga dinamika kehidupan bangsa, 4) sistem hukum menjamin proses realisasi diri bagi para warga bangsa dalam proses pembangunan (Soerjanto Poespowardojo, 1989).
          Melalui hukum manusia hendak mencapai ketertiban umum dan keadilan. Meski harus disadari bahwa ketertiban umum dan keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu hanya bisa dicapai dan dipertahankan secara dinamis melalui penyelenggaraan hukum dalam suatu proses sosial yang sendirinya adalah fenomen dinamis. Negara hanya dapat disebut negara hukum apabila hukum yang diikutinya adalah hukum yang baik dan adil. Artinya, hukum sendiri secara moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Itu berarti bahwa hukum harus sesuai dengan paham keadilan masyarakat dan menjamin hak-hak asasi manusia. (Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia.
6.   Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu dan Teknologi
          Ilmu pengetahuan dan teknologi, di masa sekarang memang merupakan kebutuhan tersendiri. Bagi kelompok manusia yang menginginkan kemajuan mutlak harus memiliki dua hal tersebut. Kepemilikan iptek untuk memudahkan kehidupan manusia dan mengangkat derajat manusia, oleh karena itu kepemilikan tersebut harus diiringi dengan cara yang tepat. Realitas yang didapatkan, kepemilikan terhadap iptek sering disalahgunakan, sehingga justru mendehumanisasikan manusia itu sendiri.
          Pancasila berperan memberikan beberapa prinsip etis kepada ilmu, sebagai berikut:
a.   Martabat manusia sebagai pribadi, sebagai subjek tidak boleh diperalat untuk kepentingan iptek, riset.
b.  Harus dihindari adanya monopoli iptek.
c.   Prinsip “tidak merugikan”, harus dihindari kerusakan yang mengancam kemanusiaan.
d.  Iptek harus sedapat mungkin membantu manusia melepaskan dari kesulitan-kesulitan hidupnya.
e.  Diharuskan adanya kesamaan pemahaman antara ilmuwan dan agamawan, yaitu bahwa iman memancar dalam ilmu sebagai usaha memahami “sunatullah”, dan ilmu menerangi jalan yang telah ditunjukkan oleh iman.
          Jika dipandang dari wacana filsafat ilmu, maka iptek yang diletakkan di atas Pancasila sebagai paradigmanya yang perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologis.
a.   Aspek Ontologis, yaitu bahwa hakikat iptek merupakan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya mencari dan menemukan kebenaran serta kenyataa. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dipandang secara utuh sebagai masyarakat, proses, dan produk.
b.  Aspek Epistimologis, yaitu nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai “metode berfikir”, dalam arti sebagai dasar dan arah dalam mengembangkan ilmu, serta sebagai parameter kebenarannya.
c.   Aksiologi, dengan menggunakan epistimologi tersebut kemanfaatan dan efek pengembangan iptek secara negatif tidak bertentangan dengan ideal Pancasila, dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai pancasila.
          Perkembangan iptek dewasa ini dan di masa yang akan datang sangat cepat, semakin menyentuh inti hayati dan materi di satu pihak serta menggapai angkasa luas dan luar angkasa di lain pihak, lagi pula memasuki dan memengaruhi makin dalam segala aspek kehidupan dan institusi budaya. Akibat baiknya adalah mengamankan, menyejahterakan dan menyelamatkan manusia, menambah atau mengurangi jumlah manusia, memperluas cakrawalanya, menggeser umur matinya, serta mengatasi halangan-halangan temporo-spasial. Akibat buruknya adalah mendesak manusia secara temporospasial, mengusangkan kelompok yang kurang mujur, merusak lingkungan kerak bumi dan atmosfer, bahkan membinasakan dirinya, secara individual maupun massal.
          Berdasarkan pengkajian mengenai “Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa”, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap pembangunan di segala bidang yang sedang digalakkan perlu adanya sebuah paradigma, yaitu sebuah kerangka berpikir, sumber, tolok ukur, atau sebuah model mengenai bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakukan agar mencapai hasil yang bermanfaat serta tujuan untuk meningkatkan kualitas bangsa Indonesia. Dalam hasil pengkajian  “Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa” ini diharapkan dapat membuka wawasan serta menggugah semangat pembaca, khususnya generasi muda agar dapat melaksanakan paradigma pembangunan bangsa yang berdasar Pancasila.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan. Diunduh tanggal 2 Mei 2012 dari http://exalute.wordpress.com/2008/07/24/pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan

Dr. H. Kaelan, M.S. 2004. Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Offset

Elly M. Setiadi, Dra., M.Si. 2003. Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan & Muh. Miftahudin (ed). 1992. Polotik Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta: Penerbit UII Press

Rukiyati, dkk. 2008. Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: UNY Press

Soerjanto Poepowardojo. 1989. Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta: Penerbit PT Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar