PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN BANGSA
Istilah paradigma pada mulanya
digunakan dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Paradigma adalah pandangan
mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu
cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para ilmuwan
dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana
seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang harus dijalankan dalam
mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang,
kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma
tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan
tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah
dalam ilmu pengetahuan.
Istilah paradigma makin lama
makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang
lain seperti bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan,
hukum, serta ilmu dan teknologi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian
sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok
ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu
itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan
dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan
penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara
normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek
pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi
atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar
negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa
Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau
persekutuan hidup manusia sehingga pancasila menjadi landasan dan tolak ukur penyelenggaraan
bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan. Nilai-nilai dasar Pancasila dikembangkan
atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis.
Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, seperti: susunan
kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga, sifat kodrat manusia sebagai
individu sekaligus sosial, dan kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi
dan makhluk Tuhan.
Sehingga pembangunan nasional
diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi
aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat,
pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas. Pembangunan
sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan.
Sehingga, pembangunan di Indonesia dilaksanakan
di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam kajian
ini, dibahas mengenai “Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa”, meliputi
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, hukum, serta ilmu
dan teknologi.
1. Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga
negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek
politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus
dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang
bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan
tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah
sistem politik demokrasi bukan otoriter. Demokratisasi merupakan upaya penting
dalam mewujudkan civil society. Tanpa
proses demokratisasi tidak akan tercipta civil
society. Masyarakat menjadi demokratik kalau mewujudkan nilai-nilai inti
demokratik (care democratic values). Sedikitnya
ada empat nilai inti demokratik. Pertama,
kedaulatan rakyat yang berarti masyarakat diatur oleh keputusan atau hukum yang
ditentukan oleh masyarakat sendiri baik langsung atau melalui perwakilan. Nilai
demokratik kedua adalah partisipasi.
Partisipasi politik berarti masyarakat sendiri yang menentukan dan
mengendalikan keputusan politik yang memengaruhi dirinya. Partisipasi politik
perlu bagi perwujudan kebebasan warganegara. Nilai ketiga adalah akuntabilitas. Dalam masyarakat demokratis harus ada
mekanisme bagaimana pemerintah atau pemegang kekuasaan dapat diawasi dan
dikendalikan oleh rakyat. Nilai keempat
adalah komitmen pada persamaan (equality).
Warga masyarakat memiliki hak yang sama dalam memberikan kontribusi bagi
pengambilan keputusan.
2. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Ekonomi
Sesuai dengan paradigma
pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi
berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi
harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan
kemanusiaan (sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas
dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem
ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang
hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem
ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak
mengakui kepemilikan individu. Sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem
dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara
keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi
kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus
mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan
bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan,
penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Strategi pembangunan partisipatif (participatory development startegy) yang
merupakan syarat bagi terselenggaranya proses demokrasi ekonomi masih terhambat
oleh kultur politik dan sikap birokratis yang paternalistik. Berbagai pembinaan
atau reformasi kultural diperlukan untuk memasyarakatkan nilai kedaulatan
rakyat.
Perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial, sebagaimana yang ditegaskan dan tercantum dalam UUD 1945
(BAB XIV, pasal 33), harus dilaksanakan dan dipegang teguh secara konsisten,
yaitu: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
3. Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya
bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan
kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia
biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara
fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus
dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila
persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar
penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si seluruh
wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu
ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai
kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai
warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan
kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
4. Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan
Salah satu tujuan bernegara
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya
oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan
keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata). Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh
warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan
secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah,
dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem
pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga
negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai
dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu)
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela
negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah
diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan
negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk
menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
5.
Pancasila sebagai
Paradigma Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum bukan hanya
memerhatikan nilai-nilai filosofis, asas yang terkandung dalam konsep negara
hukum, tetapi juga memepertimbangkan realitas penegakan hukum dan kesadaran
hukum masyarakat (Moh. Busyro Moqoddas, Salman Luthan & Muh. Miftahudin,
1992). Pancasila sebagai ideologi nasional memberikan ketentuan mendasar,
yakni: 1) sistem hukum dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai
sumbernya, 2) sistem hukum menunjukkan maknanya, sejauh mewujudkan keadilan, 3)
sistem hukum mempunyai fungsi untuk menjaga dinamika kehidupan bangsa, 4)
sistem hukum menjamin proses realisasi diri bagi para warga bangsa dalam proses
pembangunan (Soerjanto Poespowardojo, 1989).
Melalui hukum manusia hendak mencapai
ketertiban umum dan keadilan. Meski harus disadari bahwa ketertiban umum dan
keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu hanya bisa dicapai dan
dipertahankan secara dinamis melalui penyelenggaraan hukum dalam suatu proses
sosial yang sendirinya adalah fenomen dinamis. Negara hanya dapat disebut
negara hukum apabila hukum yang diikutinya adalah hukum yang baik dan adil.
Artinya, hukum sendiri secara moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Itu
berarti bahwa hukum harus sesuai dengan paham keadilan masyarakat dan menjamin
hak-hak asasi manusia. (Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia
bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan berdasarkan hukum
positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia
memilikinya karena ia manusia.
6. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu dan
Teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi, di
masa sekarang memang merupakan kebutuhan tersendiri. Bagi kelompok manusia yang
menginginkan kemajuan mutlak harus memiliki dua hal tersebut. Kepemilikan iptek
untuk memudahkan kehidupan manusia dan mengangkat derajat manusia, oleh karena
itu kepemilikan tersebut harus diiringi dengan cara yang tepat. Realitas yang didapatkan,
kepemilikan terhadap iptek sering disalahgunakan, sehingga justru mendehumanisasikan
manusia itu sendiri.
Pancasila berperan memberikan beberapa
prinsip etis kepada ilmu, sebagai berikut:
a. Martabat manusia sebagai pribadi, sebagai subjek
tidak boleh diperalat untuk kepentingan iptek, riset.
b. Harus dihindari adanya monopoli iptek.
c. Prinsip “tidak merugikan”, harus dihindari
kerusakan yang mengancam kemanusiaan.
d. Iptek harus sedapat mungkin membantu manusia
melepaskan dari kesulitan-kesulitan hidupnya.
e. Diharuskan adanya kesamaan pemahaman antara ilmuwan
dan agamawan, yaitu bahwa iman memancar dalam ilmu sebagai usaha memahami
“sunatullah”, dan ilmu menerangi jalan yang telah ditunjukkan oleh iman.
Jika dipandang dari wacana filsafat
ilmu, maka iptek yang diletakkan di atas Pancasila sebagai paradigmanya yang
perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis,
epistimologis, dan aksiologis.
a.
Aspek Ontologis,
yaitu bahwa hakikat iptek merupakan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik
henti dalam upayanya mencari dan menemukan kebenaran serta kenyataa. Ilmu
pengetahuan dan teknologi harus dipandang secara utuh sebagai masyarakat,
proses, dan produk.
b. Aspek Epistimologis, yaitu nilai-nilai Pancasila
dijadikan sebagai “metode berfikir”, dalam arti sebagai dasar dan arah dalam
mengembangkan ilmu, serta sebagai parameter kebenarannya.
c.
Aksiologi, dengan
menggunakan epistimologi tersebut kemanfaatan dan efek pengembangan iptek
secara negatif tidak bertentangan dengan ideal Pancasila, dan secara positif
mendukung atau mewujudkan nilai-nilai pancasila.
Perkembangan iptek dewasa ini dan di
masa yang akan datang sangat cepat, semakin menyentuh inti hayati dan materi di
satu pihak serta menggapai angkasa luas dan luar angkasa di lain pihak, lagi
pula memasuki dan memengaruhi makin dalam segala aspek kehidupan dan institusi
budaya. Akibat baiknya adalah mengamankan, menyejahterakan dan menyelamatkan
manusia, menambah atau mengurangi jumlah manusia, memperluas cakrawalanya,
menggeser umur matinya, serta mengatasi halangan-halangan temporo-spasial.
Akibat buruknya adalah mendesak manusia secara temporospasial, mengusangkan
kelompok yang kurang mujur, merusak lingkungan kerak bumi dan atmosfer, bahkan
membinasakan dirinya, secara individual maupun massal.
Berdasarkan pengkajian mengenai
“Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa”, dapat disimpulkan bahwa dalam
setiap pembangunan di segala bidang yang sedang digalakkan perlu adanya sebuah
paradigma, yaitu sebuah kerangka berpikir, sumber, tolok ukur, atau sebuah
model mengenai bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakukan agar mencapai hasil
yang bermanfaat serta tujuan untuk meningkatkan kualitas bangsa Indonesia. Dalam
hasil pengkajian “Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Bangsa” ini diharapkan dapat membuka wawasan serta menggugah
semangat pembaca, khususnya generasi muda agar dapat melaksanakan paradigma pembangunan
bangsa yang berdasar Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan. Diunduh tanggal 2 Mei 2012 dari http://exalute.wordpress.com/2008/07/24/pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan
Dr. H. Kaelan, M.S. 2004. Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Offset
Elly M. Setiadi, Dra., M.Si. 2003. Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan & Muh.
Miftahudin (ed). 1992. Polotik
Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta: Penerbit UII Press
Rukiyati, dkk. 2008. Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: UNY Press
Soerjanto Poepowardojo. 1989. Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta:
Penerbit PT Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar