Oleh
: Hujair AH. Sanaky
Pendidikan
suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus menerus
terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat; suatu proses dimana suatu
bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk
memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan
batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan
masyarakatnya. Mohammad Natsir dalam tulisannya “Idiologi Didikan Islam”,
menyatakan pendidikan satu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kepada
kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dalam arti sesungguhnya.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pasal 3
bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Dalam
teori pendidikan terdapat tiga ranah dalam taksonomi tujuan pendidikan. Pertama,
ranah kognitif yang menekankan aspek untuk mengingat dan mereproduksi informasi
yang telah dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan
mensintesakan ide-ide dan materi baru. Kedua, ranah afektif yang menekankan
aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau
menolak sesuatu. Ketiga, ranah psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk
melatih keterampilan seperti menulis, teknik mengajar, berdagang, dan
lain-lain. Dari ketiga ranah pendidikan
tersebut idealnya harus selaras dan saling melengkapi. Tetapi kenyataannya hubungan antara perubahan
sikap (afektif) dan meningkatnya ilmu pengetahuan (kognitif) secara statistik
cenderung berdiri sendiri. Maka dari
ketiga unsur pencapaian pendidikan itu, idealnya harus dilakukan secara terpadu
(integral) sehingga tercapai tujuan proses pendidikan yang diinginkan dan akan
jelas ke mana pendidikan itu akan diarahkan. Namun kenyataanya kecenderungan
dan pencapaian pendidikan sudah jauh bergeser dari tujuan idealnya.[5]
Pendidikan
diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan
kreatifitas.[6] Maka untuk mewujudkan
pendidikan anti korupsi, harus menjadi tanggungjawab bersama antara keluarga,
masyarakat, dan pemerintah, karena itu pendidikan berlangsung seumur hidup dan
dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan
kita terdiri atas tiga bagian, yaitu pendidikan informal (keluarga), formal
(sekolah) dan nonformal (masyarakat),[7] yang dapat saling melengkapi dan
memperkaya. Oleh karena itu, sasaran
yang ingin dicapai dari pendidikan adalah pembentukan aspek kognitif
(intelektual), afektif (sikap mental atau moral) dan psikomotorik
(skill/keterampilan). Maka idealnya, pembentukan aspek kognitif menjadi tugas
dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah, pembentukan aspek efektif
menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua, dengan membangun kepribadian dan
kebiasaan. Sedangkan, pembentukan aspek psikomotorik menjadi tugas dan tanggung
jawab masyarakat (lembaga-lembaga kursus, dan sejenisnya). Dengan adanya pembagian tugas seperti
ini, maka masalah pendidikan anti
korupsi sebenarnya menjadi tanggung jawab semua pihak: orangtua, pendidik
(guru), dan masyarakat.[8]
Dalam
pendidikan keluarga, mengupayakan pendidikan moral seperti agama, budi pekerti,
etika, dan sejenisnya, menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua. Ayah maupun ibu harus melatih anak-anaknya
untuk jujur dalam melakukan berbagai hal, khususnya yang menyangkut dengan
uang. Kejujuran merupakan prinsip dasar
dalam pendidikan anti korupsi. Katakan
saja, kalau seorang ayah atau ibu
menyuruh anaknya untuk belanja sesuatu ke warung, dia harus diajarkan
mengembalikan uang sisa belanja tersebut dan tidak boleh mengantongi uang sisa
belanja tersebut untuk dirinya sendiri.
Intinya kita sebagai orangtua harus menanamkan kejujuran pada anak. Hal
ini dikatakan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) Meutia Hatta
kepada wartawan di sela-sela bakti sosial menyambut Hari Ibu ke-80, di
Jakarta.[9]
Kita
harus dan berani membentuk sikap anti korupsi sejak dini dan dimulai dari
pendidikan keluarga. Hal ini jelas
merupakan tindakan yang patut dan harus didukung, sebab internalisasi sikap dan
kebiasaan anti korupsi dapat saja lewat penegakan hukum maupun pendidikan yang
bernilai preventif dan edukatif. Maka arah dari semua langkah itu adalah
membangun kultur perlawanan terhadap budaya korupsi yang dimulai dari
pendidikan keluarga, dengan sifat
menciptakan efek jera, menebarkan budaya malu, menciptakan budaya kejujuran,
budaya tanggung jawab dan berupaya untuk mencegah agar para calon pelaku
korupsi takut untuk berbuat serupa.
Pendidikan
di sekolah, mengembangkan pendidikan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi)
menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah. Maka untuk mewujudkan pendidikan anti
korupsi, pendidikan di sekolah harus
diorientasikan pada tataran moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti
pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan
kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan
sehari-hari. Lickona (1991), menyatakan
bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan
tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral
feeling, hingga sampai pada moral action.
Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang.[10] Dengan demikian diharapkan potensi peserta
didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual,
yaitu memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang baik dan buruk,
benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat. Kecerdasan emosional, berupa kemampuan
mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang lain, dan mampu
bekerja dengan orang lain. Keecerdasan
sosial, yaitu memiliki kemampuan
berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat
untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan spritual, yaitu memiliki kemampuan
iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar berbuat baik karena
lillahi ta’alah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur
dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan kinestetik, adalah menciptakan keperdulian terhadap
dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani, tumbuh dari rizki yang hahal, dan
sebagainya. Maka sosok manusia yang
mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut,
diharapkan siap menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi atau
bersikap anti korupsi.
Pendidikan
di sekolah harus dilakukan secara berkelanjutan mulai dari proses moral
knowing, moral feeling, hingga moral action.
Kenapa, karena pendidikan memiliki peran yang strategis dalam mendukung
dan bahkan mempercepat pembentukan masyarakat berkeadaban,[11] memiliki
kemampuan, keterampilan, etos, dan motivasi untuk berpartisifasi aktif secara
jujur dalam masyarakat. Dalam konteks
ini, menurut penulis dalam pendidikan di sekolah, perlu membangun ”kantin kejujuran” di sekolah-sekolah, tidak hanya berkesan simbolik, atau bersifat basah
basih, tetapi harus dirancang dengan
muatan sifat edukasi yang dikemukan di atas.
Mungkin saja, eksistensinya
mungkin terlalu kecil di tengah gelombang ”budaya korupsi” dan ”erosi
kejujuran” yang melanda dan mendera bangsa ini.
Tapi bila semua proses pendidikan
dan pengajaran sekolah-sekolah di seluruh Indonesia membudayakan gerakan yang
sama, maka lamban atau cepat manfaat
besar dari proses pendidikan ini akan sama-sama dirasakan. Secara teknis, pada ”kantin kejururan” di
sekolah, tiap pembeli atau siswa boleh mengambil barang apa pun di kantin
tersebut, membayarnya, dan mengambil sendiri uang pengembaliannya. Tidak ada penjual atau penjaga yang
mengawasi, sehingga kalau seseorang mau bersikap tidak jujur dengan mengambil
tanpa membayar atau membayar semaunya saja, tidak akan ada orang yang tahu.
Yang dibutuhkan adalah mendengarkan suara atau kata hati nurani, dengan merasa
tanpa diawasi oleh siapapun, maka hati dan tindakannya tetap harus mewujudkan
sikap jujur. Dengan demikian ukuran
sukses atau tidaknya tujuan kantin tersebut akan terlihat dari neraca
keuangannya, apakah secara bisnis bisa berjalan terus atau bangkrut. [12] Hal ini sebagai salah satu upaya untuk
menanamkan dan membentuk perilaku anti korupsi sejak dini. Maka melalui kebiasaan dan pemberian contoh,
para siswa akan belajar untuk bersikap jujur, kerja keras, disiplin, berani,
tanggung jawab, mandiri, sederhana, adil, dan peduli, sehingga diharapkan akan terbentuk karakter anti korupsi.
Proses
percepatan pemberantasan korupsi bukan seperti membalik telapak tangan.
Artinya, lebih dari itu harus ada kerja-kerja keras yang spartan dan simultan
antara aparat penegak hukum dan masyarakat.
Harus dibangun kesadaran yang mengartikulasikan kejujuran dan budaya
malu melakukan korupsi. Maka munculnya
wacana dan kesadaran moral untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita ke
segala lini kehidupan masyarakat Indonesia, selain melalui mekanisme hukum,
juga membangun filosofi baru berupa penyamaan nalar dan nilia-nilai baru yang
bebas korupsi melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Hal itu dilakukan karena pendidikan memiliki
posisi sangat vital dalam upaya membangun sikap anti korupsi. Karena, hakekat pendidikan adalah suatu proses
menumbuhkembangkan eksistensi peserta-didik yang memasyarakat, membudaya, dalam
tata kehidupan bermasyarakat.[13]
Kata Antasari Azhar, bahwa kebiasaan korupsi sepertinya telah
mendarah daging di Indonesia. Agar tak
ikut arus, pendidikan anti korupsi harus diberikan sejak dini. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pun berniat
akan mengundang anak-anak yang duduk di sekolah dasar untuk belajar anti
korupsi di kantornya. Menurutnya
pendidikan anti korupsi sejak dini ini penting. Kita akan undang ke KPK untuk diberi
pendidikan itu, katanya. Hal itu dikatakannya di hadapan siswa-siswi Sekolah Darurat
Kartini di kawasan Jakarta Utara, Kamis (6/11/2008). Rencana ini, katanya akan menjadi salah satu
program KPK ke depan. Anak-anak yang diundang, tidak hanya mereka yang menempuh
pendidikan formal saja, tapi juga pendidikan informal. Korupsi dapat berdampak ke banyak bidang
termasuk pendidikan. Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pun miris ketika masuk dan melihat Sekolah Darurat
Kartini dan menyatakan apa ini akibat korupsi? [14]
Pendidikan
anti korupsi harus diberikan melalui pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai
moral bebas korupsi di sekolah, sehingga generasi baru Indonesia diharapkan
dapat memiliki pandangan dan sikap yang keras terhadap segala bentuk praktik
korupsi. Ketua MPR Hidayat Nurwahid,
menyatakan bahwa pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan
nilai-nilai anti korupsi sejak dini.
Pendidikan anti korupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat
menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup
generasi sebelumnya. Tapi hanya saja
memberikan pendidikan anti korupsi bukan hal mudah. Sebab,
bahkan lahirnya fenomena praktik korupsi juga berawal dari dunia
pendidikan yang cenderung tidak pernah
memberikan sebuah mainstream atau paradigma
berperilaku jujur dalam berkata dan berbuat. Termasuk sekolah-sekolah
di negeri ini. Misalnya guru menerangkan hal-hal idealis
dalam memberikan pelajaran, menabung pangkal kaya, tetapi realitanya banyak
guru yang korupsi, seperti korupsi waktu, korupsi materi pelajaran yang
diberikan,. korupsi berupa absen
mengajar tanpa izin kelas. Hal-hal yang dilakukan itu, juga dapat memicu
praktik korupsi yang lebih buruk di dunia pendidikan.[15]
Demikianlah
tradisi korupsi yang kronis di negeri ini. Marilah kita berbuat, meskipun masih
dalam batas yang kecil-kecilan, tapi yang penting memang itulah yang baru mampu
kita lakukan. Maka langkah untuk
menangani korupsi melalui sistem pendidikan yang akan berdampak besar dalam
kehidupan manusia Indonesia. Dengan
pendidikan anti korupsi, diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang
memiliki kecintaan terhadap bangsa dan negara, memiliki prilaku yang baik,
bermoral, berakhlakul karimah dan memiliki keimanan yang kuat. Sejak dini para murid mulai diperkenalkan dan
mempelajari betapa menarik dan buruknya dunia perkorupsian di Indonesia dalam
mata pelajaran Anti-Korupsi. Maka, dalam
mata pelajaran Anti-Korupsi, para murid dapat membahas tentang bahaya korupsi,
isu-isu terkini seputar korupsi, siapa saja pejabat yang terlibat dalam kasus
korupsi, dan siapa saja yang sudah diputuskan bersalah. Maka dari pendidikan Anti-Korupsi, target
yang diharapkan adalah bagaimana menanamkan sebuah pola pikir dan sikap kepada
masyarakat Indonesia terutama para pelajar sebagai calon-calon pemimpin untuk
”mengharamkan” dan bahkan pada sikap
”membenci” suatu perbuatan atau perilaku yang dinamakan dengan tindakan
korupsi.[16]
Selain
itu, dalam proses pembelajaran sikap pengajar harus terbuka, jujur, tidak
melakukan tindakan-tindakan pengurangan waktu, tidak korupsi materi pelajaran
yang diberikan, tidak korupsi absen mengajar tanpa izin kelas, dan
sebagainya Bangunlah sistem pendidikan
sebagai proses penyadaran potensi kejujuran, pendidikan hendaknya sebagai media
penyadaran dari negara dan masyarakat yang memiliki kemampuan lebih. Sehingga munculkan peserta didik dari proses
penyadaran itu. Tapi janganlah jadikan proses pendidikan sebagai media
investasi dari peserta didik, apa lagi para penyelenggara pendidikan mendapatkan
keuntungan finansial dari investasi peserta didik. Maka apabila sumber daya manusia yang lahir
dari proses pendidikan seperti itu, setelah mendapatkan peluang kerja ia pun
akan bekerja untuk mencari keuntungan demi mengembalikan investasi yang telah
ia keluarkan selama dalam proses pendidikan.
Bahkan investasi yang ia telah keluarkan itu harus mendapatkan
keuntungan yang lebih. Jika sumber daya
manusia itu tidak memiliki fondasi iman, akhlak, dan mental yang kuat, maka
korupsi pun akan dilakukan, karena
mengais atau mencari rezeki secara benar, halal, dan wajar untuk mengembalikan
investasi yang telah ia keluarkan dalam proses pendidikan tidak didapatkannya.[17]
Lahirlah
manusia yang tidak amanah (trust), tidak dapat dipercaya dari prodak pendidikan
yang mengkodisikannya seperti itu. Jika prodak pendidikan, rakyat dan atau
masyarakat yang tidak amanah, sulit dipercaya, tidak jujur, negara akan
hancur. Analog di atas diberikan untuk
menggambarkan ”kantin” sebagai sebuah negara.
Jika pembelinya tidak membayar sesuai kewajibannya, maka modal yang
dimiliki tentu akan tergerogoti. Maka kekayaan dalam bangunan sebuah negara
akan habis jika ketidakjujuran yang merupakan basis sikap korup terjadi
merajalela. Bermacam jalan telah
ditempuh untuk membangun kejujuran yang bertaut dengan menebar budaya
malu. Di antara beragam kreasi elemen
rakyat yang peduli, maka ”kantin kejujuran”
merupakan ungkapan perlawanan terhadap korupsi secara edukatif. Maka sebenarnya para pelaku korupsi, atau
mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan mestinya tersentuh ketika
anak-anak muda sekarang ini telah mengembangkan penalarannya sendiri untuk
membangun budaya jujur, budaya malu, dan budaya anti korupsi. Mereka tengah mengasah bahasa hati, bahasa
nurani, dan bahasa kejujuran. Maka disadari atau tidak, itulah sumbangsih para remaja untuk
menyelamatkan Indonesia,[18] dari kebungkrutan karena ulah para koruptor.
Harapan
mulai dibebankan kedunia pendidikan untuk membangun sikap anti korupsi,
membangun sikap amanah (trust). Tuntutannya, sistem pendidikan harus dibenahi
agar dapat menjawab permintaan tersebut. Pertanyaannya apakah pendidikan di
Indonesia siap untuk itu? Sebab realitas
dalam dunia pendidikan di Indonesia, masih banyak terjadi tindak penyimpangan
dalam proses yang dapat dikatakan sebagai indikator rendahnya sikap amanah
(trust) atau tindak korupsi. Katakan
saja dalam dunia pendidikan, muncul dan terjadi tindak pemalsuan ijazah,
penjualan ijazah, pembocoran soal, penjualan
soal, terjadi penjualan nilai, terjadi manipulasi nilai, tradisi nyontek di
kalangan siswa/mahasiswa, plagiasi
makalah atau tugas-tugas mahasiswa, skripsi,[19] tesis, disertasi, dan
lain-lain, juga merupakan beberapa indikator lainnya dari rendahnya sikap
amanah (trust). Kasus di Yogyakarta
beberapa bulan yang lalu, kita mendengar beribu ”ijazah aspal” (asli tapi
palsu) yang dikeluarka beberapa institusi pendidikan. Fenomena semacam ini sangat memilukan dan
menyedihkan dunia pendidikan dan merupakan tantangan yang perlu segera dijawab
oleh lembaga pendidikan itu sendiri, sehingga
dapat membangun masyarakat yang memiliki sikap amanah (trust) yang tinggi.[20]
Pendidikan
di masyarakat, mengembangkan pendidikan keterampilan (skills), perilaku
(behavior), pembentukan kebiasaan (habit formation), pemberian contoh atau
pemodelan (social learning) dalam kehidupan di masyarakat. Cara-cara inilah yang harus dibiasakan dan di internalisasikan
dalam kehidupan di lingkungan masyarakat, dilembaga-lembaga sosial masyarakat,
lembaga-lembaga sosial keagama, di rumah-rumah ibadah, sehingga terbangun
social-capital yang kokoh. Inti dari social-capital adalah trust (sikap
amanah), atau masyarakat yang saling percaya dan dapat dipercaya,[21]
karena memiliki sikap jujur dan
bertanggung jawab. Menurut pengamatan
sementara ahli, bahwa dalam bidang social capital bangsa Indonesia ini hampir
mencapai titik zero trust society, atau masyarakat yang sulit dipercaya,
artinya sikap amanah (trust) sangat lemah.
Sebagai salah satu indikatornya, hasil survey the Political and Economic
Risk Consultancy (PERC) tahun 2004, indeks korupsi di Indonesia sudah mencapai
9,25 atau ranking pertama se Asia, bahkan pada tahun 2005 indeksnya meningkat
sampai 9,4. Memang setelah diteliti, ternyata benar bahwa telah terjadi tindak
korupsi bermiliar-miliar atau bahkan trilyunan rupiah di berbagai instansi dan
institusi[22]
Pendidikan
anti-korupsi bagi masyarakat, untuk membrantas korupsi membutuhkan waktu
beberapa generasi. Itu pun kalau ada program yang dilakukan secara
konsisten. Katakan saja, untuk
menghentikan kebiasaan merokok saja
tidak gampang, apalagi korupsi.
Korupsi sudah sedemikian ”menggurita” dalam birokrasi negara dan telah
membudaya dalam kehidupan masyarakat. Paling dirugikan adalah rakyat banyak
dan di antara lapisan masyarakat yang
paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari akses kekuasaan. Oleh sebab itu rakyat atau masyarakat berhak
dan berkewajiban melakukan kontrol untuk menghentikan atau minimal menekan
segala bentuk tindakan korup. Kontrol masyarakat (kontrol publik) merupakan
senjata ampuh untuk terjun ke medan pertempuran melawan wabah korupsi. Tetapi
untuk memenangkan pertempuran melawan korupsi, kontrol publik saja tidaklah
memadai. Perlu senjata lain, yaitu partisipasi publik. Fuad Hassan, menyebut
kontrol publik dan partisipasi publik sebagai dwitunggal. Dengan kontrol dan
partisipasi publik, tindak korupsi bisa ditekan.[23]
Maka
untuk mewujudkan pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat, diperlukan
partisipasi publik sendiri yang merupakan syarat mutlak agar kontrol publik
bisa dilakukan secara efektif.
Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup
informasi. Lantas apa yang terjadi bila
informasinya sengaja ditutupi? Ini
berarti tidak ada keterbukaan. Bila
tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol
publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat
tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi.
Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power
corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik
agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi
sesuatu yang mendesak dilakukan. Apalagi
dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan
komoditas politik, sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan
lagi masalah hukum apalagi moral kejujuran.
Dalam
keadaan seperti ini, kesadaran politik tentang bahaya korupsi harus
dibangkitkan dan dididik agar mempunyai ghirah memberantas korupsi. Upaya mendidik dan menyadarkan masyarakat ini
penting, sebab masyarakat yang sadar jelas lebih baik daripada masyarakat yang
apatis, yang tidak menyadari atau tidak tahu hak-haknya dan bersikap masa bodoh
atau ”tepoliro” terhadap segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan yang
dilakukan pejabat publik atau siapa saja yang melakukan korupsi. Sebab sikap masa bodoh dan ”teposliro” ini
adalah lahan subur bagi tumbuhnya wabah korupsi dan dianggap sebagai perbuatan
biasa saja. Oleh karena itu, upaya
mendidik, memberdayakan, dan membangkitkan kesadaran mengenai betapa krusialnya
persoalan korupsi jelas merupakan sesuatu yang mendesak dilakukan. Karena warga
masyarakat yang sadar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang korupsi adalah
landasan yang sangat pengting bagi usaha menekan derasnya arus korupsi. Dengan demikian kuncinya adalah perlunya
pendidikan anti-korupsi bagi siswa, mahasiswa, dan masyarakat umumnya, agar
”melek” terhadap korupsi.[24] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan atau pembelajaran anti-korupsi
yang dilaksanakan secara terencana dan sistematis, mulai dari pendidikan
informal keluarga dirumah, pendidikan formal di sekolah, dan pendidikan
nonformal di masyarakat, dapat mencegah, mengurangi, dan bahkan memberantas
korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar