Label

8 Jan 2013

Artikel


PENDIDIKAN  ANTI KORUPSI DI INDONESIA
Oleh : Hujair AH. Sanaky

Pendidikan suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat; suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.  Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Mohammad Natsir dalam tulisannya “Idiologi Didikan Islam”, menyatakan pendidikan satu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dalam arti sesungguhnya.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  Nomor 20 Tahun 2003, pasal 3 bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam teori pendidikan terdapat tiga ranah dalam taksonomi tujuan pendidikan. Pertama, ranah kognitif yang menekankan aspek untuk mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide-ide dan materi baru. Kedua, ranah afektif yang menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, ranah psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk melatih keterampilan seperti menulis, teknik mengajar, berdagang, dan lain-lain.  Dari ketiga ranah pendidikan tersebut idealnya harus selaras dan saling melengkapi.  Tetapi kenyataannya hubungan antara perubahan sikap (afektif) dan meningkatnya ilmu pengetahuan (kognitif) secara statistik cenderung berdiri sendiri.  Maka dari ketiga unsur pencapaian pendidikan itu, idealnya harus dilakukan secara terpadu (integral) sehingga tercapai tujuan proses pendidikan yang diinginkan dan akan jelas ke mana pendidikan itu akan diarahkan. Namun kenyataanya kecenderungan dan pencapaian pendidikan sudah jauh bergeser dari tujuan idealnya.[5]
Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreatifitas.[6]  Maka untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi, harus menjadi tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah, karena itu pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan kita terdiri atas tiga bagian, yaitu pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah) dan nonformal (masyarakat),[7] yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.  Oleh karena itu, sasaran yang ingin dicapai dari pendidikan adalah pembentukan aspek kognitif (intelektual), afektif (sikap mental atau moral) dan psikomotorik (skill/keterampilan). Maka idealnya, pembentukan aspek kognitif menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah, pembentukan aspek efektif menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua, dengan membangun kepribadian dan kebiasaan. Sedangkan, pembentukan aspek psikomotorik menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat (lembaga-lembaga kursus, dan sejenisnya).   Dengan adanya pembagian tugas seperti ini,  maka masalah pendidikan anti korupsi sebenarnya menjadi tanggung jawab semua pihak: orangtua, pendidik (guru), dan masyarakat.[8]
Dalam pendidikan keluarga, mengupayakan pendidikan moral seperti agama, budi pekerti, etika, dan sejenisnya, menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua.  Ayah maupun ibu harus melatih anak-anaknya untuk jujur dalam melakukan berbagai hal, khususnya yang menyangkut dengan uang.  Kejujuran merupakan prinsip dasar dalam pendidikan anti korupsi.  Katakan saja, kalau seorang ayah atau ibu  menyuruh anaknya untuk belanja sesuatu ke warung, dia harus diajarkan mengembalikan uang sisa belanja tersebut dan tidak boleh mengantongi uang sisa belanja tersebut untuk dirinya sendiri.  Intinya kita sebagai orangtua harus menanamkan kejujuran pada anak. Hal ini dikatakan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) Meutia Hatta kepada wartawan di sela-sela bakti sosial menyambut Hari Ibu ke-80, di Jakarta.[9]
Kita harus dan berani membentuk sikap anti korupsi sejak dini dan dimulai dari pendidikan keluarga.  Hal ini jelas merupakan tindakan yang patut dan harus didukung, sebab internalisasi sikap dan kebiasaan anti korupsi dapat saja lewat penegakan hukum maupun pendidikan yang bernilai  preventif dan edukatif.  Maka arah dari semua langkah itu adalah membangun kultur perlawanan terhadap budaya korupsi yang dimulai dari pendidikan keluarga,  dengan sifat menciptakan efek jera, menebarkan budaya malu, menciptakan budaya kejujuran, budaya tanggung jawab dan berupaya untuk mencegah agar para calon pelaku korupsi takut untuk berbuat serupa.
Pendidikan di sekolah, mengembangkan pendidikan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah.  Maka untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi,  pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tataran moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.  Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action.  Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang.[10]   Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat.  Kecerdasan emosional, berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang lain, dan mampu bekerja dengan orang lain.  Keecerdasan sosial,  yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan spritual, yaitu memiliki kemampuan iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar berbuat baik karena lillahi ta’alah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan kinestetik,  adalah menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani, tumbuh dari rizki yang hahal, dan sebagainya.  Maka sosok manusia yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut,  diharapkan siap menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi atau bersikap anti korupsi.
Pendidikan di sekolah harus dilakukan secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga moral action.  Kenapa, karena pendidikan memiliki peran yang strategis dalam mendukung dan bahkan mempercepat pembentukan masyarakat berkeadaban,[11] memiliki kemampuan, keterampilan, etos, dan motivasi untuk berpartisifasi aktif secara jujur dalam masyarakat.   Dalam konteks ini, menurut penulis dalam pendidikan di sekolah,  perlu membangun ”kantin kejujuran”  di sekolah-sekolah, tidak hanya  berkesan simbolik, atau bersifat basah basih,  tetapi harus dirancang dengan muatan sifat edukasi yang dikemukan di atas.    Mungkin saja,  eksistensinya mungkin terlalu kecil di tengah gelombang ”budaya korupsi” dan ”erosi kejujuran” yang melanda dan mendera bangsa ini.  Tapi  bila semua proses pendidikan dan pengajaran sekolah-sekolah di seluruh Indonesia membudayakan gerakan yang sama, maka lamban atau cepat  manfaat besar dari proses pendidikan ini akan sama-sama dirasakan.   Secara teknis, pada ”kantin kejururan” di sekolah, tiap pembeli atau siswa boleh mengambil barang apa pun di kantin tersebut, membayarnya, dan mengambil sendiri uang pengembaliannya.  Tidak ada penjual atau penjaga yang mengawasi, sehingga kalau seseorang mau bersikap tidak jujur dengan mengambil tanpa membayar atau membayar semaunya saja, tidak akan ada orang yang tahu. Yang dibutuhkan adalah mendengarkan suara atau kata hati nurani, dengan merasa tanpa diawasi oleh siapapun, maka hati dan tindakannya tetap harus mewujudkan sikap jujur.   Dengan demikian ukuran sukses atau tidaknya tujuan kantin tersebut akan terlihat dari neraca keuangannya, apakah secara bisnis bisa berjalan terus atau bangkrut. [12]  Hal ini sebagai salah satu upaya untuk menanamkan dan membentuk perilaku anti korupsi sejak dini.  Maka melalui kebiasaan dan pemberian contoh, para siswa akan belajar untuk bersikap jujur, kerja keras, disiplin, berani, tanggung jawab, mandiri, sederhana, adil, dan peduli, sehingga diharapkan  akan terbentuk karakter anti korupsi.
Proses percepatan pemberantasan korupsi bukan seperti membalik telapak tangan. Artinya, lebih dari itu harus ada kerja-kerja keras yang spartan dan simultan antara aparat penegak hukum dan masyarakat.  Harus dibangun kesadaran yang mengartikulasikan kejujuran dan budaya malu melakukan korupsi.   Maka munculnya wacana dan kesadaran moral untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita ke segala lini kehidupan masyarakat Indonesia, selain melalui mekanisme hukum, juga membangun filosofi baru berupa penyamaan nalar dan nilia-nilai baru yang bebas korupsi melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal.  Hal itu dilakukan karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam upaya membangun sikap anti korupsi.  Karena, hakekat pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta-didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan bermasyarakat.[13]
Kata  Antasari Azhar,  bahwa kebiasaan korupsi sepertinya telah mendarah daging di Indonesia.   Agar tak ikut arus, pendidikan anti korupsi harus diberikan sejak dini.  Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pun berniat akan mengundang anak-anak yang duduk di sekolah dasar untuk belajar anti korupsi di kantornya. Menurutnya  pendidikan anti korupsi sejak dini ini penting.   Kita akan undang ke KPK untuk diberi pendidikan itu,  katanya.   Hal itu dikatakannya  di hadapan siswa-siswi Sekolah Darurat Kartini di kawasan Jakarta Utara, Kamis (6/11/2008).  Rencana ini, katanya akan menjadi salah satu program KPK ke depan. Anak-anak yang diundang, tidak hanya mereka yang menempuh pendidikan formal saja, tapi juga pendidikan informal.   Korupsi dapat berdampak ke banyak bidang termasuk pendidikan.  Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun miris ketika masuk dan melihat Sekolah Darurat Kartini dan menyatakan apa ini akibat korupsi? [14]
Pendidikan anti korupsi harus diberikan melalui pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai moral bebas korupsi di sekolah, sehingga generasi baru Indonesia diharapkan dapat memiliki pandangan dan sikap yang keras terhadap segala bentuk praktik korupsi.  Ketua MPR Hidayat Nurwahid, menyatakan bahwa pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai anti korupsi sejak dini.  Pendidikan anti korupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya.  Tapi hanya saja memberikan pendidikan anti korupsi bukan hal mudah.  Sebab,  bahkan lahirnya fenomena praktik korupsi juga berawal dari dunia pendidikan  yang cenderung tidak pernah memberikan sebuah mainstream atau paradigma  berperilaku jujur dalam berkata dan berbuat. Termasuk sekolah-sekolah di  negeri ini.  Misalnya guru menerangkan hal-hal idealis dalam memberikan pelajaran, menabung pangkal kaya, tetapi realitanya banyak guru yang korupsi, seperti korupsi waktu, korupsi materi pelajaran yang diberikan,.  korupsi berupa absen mengajar tanpa izin kelas. Hal-hal yang dilakukan itu, juga dapat memicu praktik korupsi yang lebih buruk di dunia pendidikan.[15]

Demikianlah tradisi korupsi yang kronis di negeri ini. Marilah kita berbuat, meskipun masih dalam batas yang kecil-kecilan, tapi yang penting memang itulah yang baru mampu kita lakukan.  Maka langkah untuk menangani korupsi melalui sistem pendidikan yang akan berdampak besar dalam kehidupan manusia Indonesia.  Dengan pendidikan anti korupsi, diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kecintaan terhadap bangsa dan negara, memiliki prilaku yang baik, bermoral, berakhlakul karimah dan memiliki keimanan yang kuat.  Sejak dini para murid mulai diperkenalkan dan mempelajari betapa menarik dan buruknya dunia perkorupsian di Indonesia dalam mata pelajaran Anti-Korupsi. Maka,  dalam mata pelajaran Anti-Korupsi, para murid dapat membahas tentang bahaya korupsi, isu-isu terkini seputar korupsi, siapa saja pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi, dan siapa saja yang sudah diputuskan bersalah.  Maka dari pendidikan Anti-Korupsi, target yang diharapkan adalah bagaimana menanamkan sebuah pola pikir dan sikap kepada masyarakat Indonesia terutama para pelajar sebagai calon-calon pemimpin untuk ”mengharamkan”  dan bahkan pada sikap ”membenci” suatu perbuatan atau perilaku yang dinamakan dengan tindakan korupsi.[16]
Selain itu, dalam proses pembelajaran sikap pengajar harus terbuka, jujur, tidak melakukan tindakan-tindakan pengurangan waktu, tidak korupsi materi pelajaran yang diberikan, tidak korupsi absen mengajar tanpa izin kelas, dan sebagainya  Bangunlah sistem pendidikan sebagai proses penyadaran potensi kejujuran, pendidikan hendaknya sebagai media penyadaran dari negara dan masyarakat yang memiliki kemampuan lebih.  Sehingga munculkan peserta didik dari proses penyadaran itu. Tapi janganlah jadikan proses pendidikan sebagai media investasi dari peserta didik, apa lagi para penyelenggara pendidikan mendapatkan keuntungan finansial dari investasi peserta didik.  Maka apabila sumber daya manusia yang lahir dari proses pendidikan seperti itu, setelah mendapatkan peluang kerja ia pun akan bekerja untuk mencari keuntungan demi mengembalikan investasi yang telah ia keluarkan selama dalam proses pendidikan.  Bahkan investasi yang ia telah keluarkan itu harus mendapatkan keuntungan yang lebih.  Jika sumber daya manusia itu tidak memiliki fondasi iman, akhlak, dan mental yang kuat, maka korupsi pun akan dilakukan,  karena mengais atau mencari rezeki secara benar, halal, dan wajar untuk mengembalikan investasi yang telah ia keluarkan dalam proses pendidikan  tidak didapatkannya.[17]
Lahirlah manusia yang tidak amanah (trust), tidak dapat dipercaya dari prodak pendidikan yang mengkodisikannya seperti itu. Jika prodak pendidikan, rakyat dan atau masyarakat yang tidak amanah, sulit dipercaya, tidak jujur, negara akan hancur.  Analog di atas diberikan untuk menggambarkan ”kantin” sebagai sebuah negara.  Jika pembelinya tidak membayar sesuai kewajibannya, maka modal yang dimiliki tentu akan tergerogoti. Maka kekayaan dalam bangunan sebuah negara akan habis jika ketidakjujuran yang merupakan basis sikap korup terjadi merajalela.  Bermacam jalan telah ditempuh untuk membangun kejujuran yang bertaut dengan menebar budaya malu.  Di antara beragam kreasi elemen rakyat yang peduli, maka ”kantin kejujuran”  merupakan ungkapan perlawanan terhadap korupsi secara edukatif.  Maka sebenarnya para pelaku korupsi, atau mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan mestinya tersentuh ketika anak-anak muda sekarang ini telah mengembangkan penalarannya sendiri untuk membangun budaya jujur, budaya malu, dan budaya anti korupsi.  Mereka tengah mengasah bahasa hati, bahasa nurani, dan bahasa kejujuran. Maka disadari atau tidak,  itulah sumbangsih para remaja untuk menyelamatkan Indonesia,[18] dari kebungkrutan karena ulah para koruptor.
Harapan mulai dibebankan kedunia pendidikan untuk membangun sikap anti korupsi, membangun sikap amanah (trust). Tuntutannya, sistem pendidikan harus dibenahi agar dapat menjawab permintaan tersebut. Pertanyaannya apakah pendidikan di Indonesia siap untuk itu?  Sebab realitas dalam dunia pendidikan di Indonesia, masih banyak terjadi tindak penyimpangan dalam proses yang dapat dikatakan sebagai indikator rendahnya sikap amanah (trust) atau tindak korupsi.   Katakan saja dalam dunia pendidikan, muncul dan terjadi tindak pemalsuan ijazah, penjualan ijazah,  pembocoran soal, penjualan soal, terjadi penjualan nilai, terjadi manipulasi nilai, tradisi nyontek di kalangan siswa/mahasiswa,  plagiasi makalah atau tugas-tugas mahasiswa, skripsi,[19] tesis, disertasi, dan lain-lain, juga merupakan beberapa indikator lainnya dari rendahnya sikap amanah (trust).   Kasus di Yogyakarta beberapa bulan yang lalu, kita mendengar beribu ”ijazah aspal” (asli tapi palsu) yang dikeluarka beberapa institusi pendidikan.   Fenomena semacam ini sangat memilukan dan menyedihkan dunia pendidikan dan merupakan tantangan yang perlu segera dijawab oleh lembaga pendidikan itu sendiri,  sehingga dapat membangun masyarakat yang memiliki sikap amanah (trust)  yang tinggi.[20]
Pendidikan di masyarakat, mengembangkan pendidikan keterampilan (skills), perilaku (behavior), pembentukan kebiasaan (habit formation), pemberian contoh atau pemodelan (social learning) dalam kehidupan di masyarakat.  Cara-cara inilah  yang harus dibiasakan dan di internalisasikan dalam kehidupan di lingkungan masyarakat, dilembaga-lembaga sosial masyarakat, lembaga-lembaga sosial keagama, di rumah-rumah ibadah, sehingga terbangun social-capital yang kokoh. Inti dari social-capital adalah trust (sikap amanah), atau masyarakat yang saling percaya dan dapat dipercaya,[21] karena  memiliki sikap jujur dan bertanggung jawab.  Menurut pengamatan sementara ahli, bahwa dalam bidang social capital bangsa Indonesia ini hampir mencapai titik zero trust society, atau masyarakat yang sulit dipercaya, artinya sikap amanah (trust) sangat lemah.  Sebagai salah satu indikatornya, hasil survey the Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2004, indeks korupsi di Indonesia sudah mencapai 9,25 atau ranking pertama se Asia, bahkan pada tahun 2005 indeksnya meningkat sampai 9,4. Memang setelah diteliti, ternyata benar bahwa telah terjadi tindak korupsi bermiliar-miliar atau bahkan trilyunan rupiah di berbagai instansi dan institusi[22]
Pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat, untuk membrantas korupsi membutuhkan waktu beberapa generasi. Itu pun kalau ada program yang dilakukan secara konsisten.  Katakan saja, untuk menghentikan kebiasaan merokok saja  tidak gampang, apalagi korupsi.  Korupsi sudah sedemikian ”menggurita” dalam birokrasi negara dan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat. Paling dirugikan adalah rakyat banyak dan  di antara lapisan masyarakat yang paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari akses kekuasaan.  Oleh sebab itu rakyat atau masyarakat berhak dan berkewajiban melakukan kontrol untuk menghentikan atau minimal menekan segala bentuk tindakan korup. Kontrol masyarakat (kontrol publik) merupakan senjata ampuh untuk terjun ke medan pertempuran melawan wabah korupsi. Tetapi untuk memenangkan pertempuran melawan korupsi, kontrol publik saja tidaklah memadai. Perlu senjata lain, yaitu partisipasi publik. Fuad Hassan, menyebut kontrol publik dan partisipasi publik sebagai dwitunggal. Dengan kontrol dan partisipasi publik, tindak korupsi bisa ditekan.[23]
Maka untuk mewujudkan pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat, diperlukan partisipasi publik sendiri yang merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif.  Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi.  Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi?  Ini berarti tidak ada keterbukaan.  Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan.  Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik, sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral kejujuran.
Dalam keadaan seperti ini, kesadaran politik tentang bahaya korupsi harus dibangkitkan dan dididik agar mempunyai ghirah memberantas korupsi.  Upaya mendidik dan menyadarkan masyarakat ini penting, sebab masyarakat yang sadar jelas lebih baik daripada masyarakat yang apatis, yang tidak menyadari atau tidak tahu hak-haknya dan bersikap masa bodoh atau ”tepoliro” terhadap segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan pejabat publik atau siapa saja yang melakukan korupsi.   Sebab sikap masa bodoh dan ”teposliro” ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya wabah korupsi dan dianggap sebagai perbuatan biasa saja. Oleh karena itu,  upaya mendidik, memberdayakan, dan membangkitkan kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi jelas merupakan sesuatu yang mendesak dilakukan. Karena warga masyarakat yang sadar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang korupsi adalah landasan yang sangat pengting bagi usaha menekan derasnya arus korupsi.  Dengan demikian kuncinya adalah perlunya pendidikan anti-korupsi bagi siswa, mahasiswa, dan masyarakat umumnya, agar ”melek”  terhadap korupsi.[24]  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa  pendidikan atau pembelajaran anti-korupsi yang dilaksanakan secara terencana dan sistematis, mulai dari pendidikan informal keluarga dirumah, pendidikan formal di sekolah, dan pendidikan nonformal di masyarakat, dapat mencegah, mengurangi, dan bahkan memberantas korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar